Aku berlayar bersama matahari. Melewati medan yang membekas di setiap
sudut hatiku. Langkah kita berbeda, seperti bianglala dengan banyak gondola :
satu, tapi tidak utuh. Kau terlihat berputar pada fajar yang memberi untaian warna
jingga kemerahan. Padahal, sebenarnya kau telah jauh, bersama Neptunus. Aku
mematung, melukiskan ceritamu di lembaran-lembaran daun yang bernama rindu.
Keabadian memang bukan milikmu, tapi hilangmu telah meninggalkan jejak di
pucuk-pucuk hatiku untuk selamanya. Menunggumu bukanlah pilihan, mencintaimu
bukanlah keputusan. Itu adalah suatu yang bahkan aksara pun tak mampu untuk
menjelaskan. Awalnya aku enggan berhenti pada medan gravitasimu, karena bagiku
duniamu hanyalah serupa bunga teratai di atas lumpur. Namun, matahari yang
membimbingku padamu. Pada realita bahwa ada asa di mata seorang adam. Kau . . .
telah menderahkan gema itu . . .dalam satu purnama. Sudahlah, enyahkan saja
pekat yang membungkus jejakmu dan tunjukkan padaku. Bukan pada rembulan, juga
bukan pada bintang. Tapi padaku, yang telah menjadikanmu sebagai karya surga di
dalam kitab hatiku.
Karena hujan punya cerita. Karena kata-kata ada makna. Maka biarkan kita mengalun bersama ribuan asa dan membentur logika.
Kamis, 18 September 2014
Perempuan Itu
Perempuan itu datang. Lagi. Untuk kesekian kalinya. Ia duduk memandangi rinai gerimis yang jatuh menusuk, menukik dan berhamburan. Oleh angin, ia berlagu. Entah sampai kapan senyap itu membola di kedua matanya. Dia terlepas dari mimpi, menjelang realita. Mengumpulkan residu rindu dan helaan nafas pada sebongkah suara percik gerimis yang tercipta. Pasti inilah surgaku , begitu suaranya pelan membumi. Manakala air itu mencapai telapak tangannya yang menengadah, senyumnya lantas terkembang. Seolah baru saja menangkap partikel keabadian yang terbebas. Pada hujan sore itu, ia –sang perempuan dengan gaun beludru merah tua- menumpahkan sepetik waktu yang terperangkap dalam kerangka imajinasinya. Ia bercerita tentang langit yang kehilangan birunya, tentang awan yang berarak-arak menuju Yaman dan tentang kehidupan ketika ia harus menabuh penat dalam pekat yang melekat hebat. Di atas bumi ini, ada nirwana yang tersimpan. Pada sudut-sudut batu yang berlumut, dan mungkin pada goa-goa tempat berteduh pasukan semut. Ia bercerita, seolah dia adalah seorang penggembala seperti Krisna. Lalu, ia menggoyahkan kedua kakinya menepis hujan, membuat rintik-rintik itu terderah . . . merajam senyumnya yang samar.
Langganan:
Postingan (Atom)