Perempuan Itu
Perempuan
itu datang. Lagi. Untuk kesekian kalinya. Ia duduk memandangi rinai gerimis
yang jatuh menusuk, menukik dan berhamburan. Oleh angin, ia berlagu. Entah
sampai kapan senyap itu membola di kedua matanya. Dia terlepas dari mimpi,
menjelang realita. Mengumpulkan residu rindu dan helaan nafas pada sebongkah
suara percik gerimis yang tercipta. Pasti inilah surgaku , begitu suaranya
pelan membumi. Manakala air itu mencapai telapak tangannya yang menengadah,
senyumnya lantas terkembang. Seolah baru saja menangkap partikel keabadian yang
terbebas. Pada hujan sore itu, ia –sang perempuan dengan gaun beludru merah
tua- menumpahkan sepetik waktu yang terperangkap dalam kerangka imajinasinya.
Ia bercerita tentang langit yang kehilangan birunya, tentang awan yang
berarak-arak menuju Yaman dan tentang kehidupan ketika ia harus menabuh penat
dalam pekat yang melekat hebat. Di atas bumi ini, ada nirwana yang tersimpan.
Pada sudut-sudut batu yang berlumut, dan mungkin pada goa-goa tempat berteduh
pasukan semut. Ia bercerita, seolah dia
adalah seorang penggembala seperti Krisna. Lalu, ia menggoyahkan kedua kakinya
menepis hujan, membuat rintik-rintik itu terderah . . . merajam senyumnya yang
samar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar