Kamis, 18 September 2014

Perempuan Itu



Perempuan itu datang. Lagi. Untuk kesekian kalinya. Ia duduk memandangi rinai gerimis yang jatuh menusuk, menukik dan berhamburan. Oleh angin, ia berlagu. Entah sampai kapan senyap itu membola di kedua matanya. Dia terlepas dari mimpi, menjelang realita. Mengumpulkan residu rindu dan helaan nafas pada sebongkah suara percik gerimis yang tercipta. Pasti inilah surgaku , begitu suaranya pelan membumi. Manakala air itu mencapai telapak tangannya yang menengadah, senyumnya lantas terkembang. Seolah baru saja menangkap partikel keabadian yang terbebas. Pada hujan sore itu, ia –sang perempuan dengan gaun beludru merah tua- menumpahkan sepetik waktu yang terperangkap dalam kerangka imajinasinya. Ia bercerita tentang langit yang kehilangan birunya, tentang awan yang berarak-arak menuju Yaman dan tentang kehidupan ketika ia harus menabuh penat dalam pekat yang melekat hebat. Di atas bumi ini, ada nirwana yang tersimpan. Pada sudut-sudut batu yang berlumut, dan mungkin pada goa-goa tempat berteduh pasukan semut.  Ia bercerita, seolah dia adalah seorang penggembala seperti Krisna. Lalu, ia menggoyahkan kedua kakinya menepis hujan, membuat rintik-rintik itu terderah . . . merajam senyumnya yang samar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar