Rabu, 08 Oktober 2014

Sajak Keran Tua



Tetesan-tetesan itu berasal dari sebuah keran tua, yang telah lama bertengger di sana. Meskipun airnya keruh, itu tidak membuatnya berhenti bernafas untuk mengeluarkan sang sumber kehidupan. Tiap kali debu menerpanya, ia hanya bersiul seolah itu adalah hal biasa. Dia yakin, bahwa debu dan angin pun tak akan mampu menghentikannya. Di dalam tetesan air yang jatuh ke tanah, ia berharap keruhnya bisa mengendap di kedalaman saat air itu kian terkumpul, atau bahkan tumpah ruah ke permukaan rumput. Meski hatinya ragu pada hal itu, tetap saja tetesan-tetesan kecil tercipta dari sudut-sudut tubuhnya yang kian berlumut. Di benaknya, ada harapan untuk berganti tubuh, supaya keran yang tua itu bisa mengeluarkan air lebih deras. Tapi, itu berarti jiwanya ikut terlepas bebas.
Maka disanalah dia. Kegelisahan itu menghantuinya di sepanjang lorong-lorong gelap tempatnya berada. Tubuhnya renta karena waktu, hatinya kebas sebab kenangan yang berpadu satu. Keran itu masih berada di ujung gang, setelah sekian lama aku mengembara tanpa arah. Ia tetap tegak dengan pipa yang kusam penuh coretan, namun tak lagi ku jumpai tetesan-tetsan air bernada rindu seperti dulu. Karena musim yang tlah berganti, Karena pipanya yang patah berkali-kali dan karena kata “berhenti” sudah saatnya ia maknai. Lalu ia . . . mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar