Tetesan-tetesan
itu berasal dari sebuah keran tua, yang telah lama bertengger di sana. Meskipun
airnya keruh, itu tidak membuatnya berhenti bernafas untuk mengeluarkan sang
sumber kehidupan. Tiap kali debu menerpanya, ia hanya bersiul seolah itu adalah
hal biasa. Dia yakin, bahwa debu dan angin pun tak akan mampu menghentikannya.
Di dalam tetesan air yang jatuh ke tanah, ia berharap keruhnya bisa mengendap
di kedalaman saat air itu kian terkumpul, atau bahkan tumpah ruah ke permukaan
rumput. Meski hatinya ragu pada hal itu, tetap saja tetesan-tetesan kecil
tercipta dari sudut-sudut tubuhnya yang kian berlumut. Di benaknya, ada harapan
untuk berganti tubuh, supaya keran yang tua itu bisa mengeluarkan air lebih
deras. Tapi, itu berarti jiwanya ikut terlepas bebas.
Maka
disanalah dia. Kegelisahan itu menghantuinya di sepanjang lorong-lorong gelap
tempatnya berada. Tubuhnya renta karena waktu, hatinya kebas sebab kenangan
yang berpadu satu. Keran itu masih berada di ujung gang, setelah sekian lama
aku mengembara tanpa arah. Ia tetap tegak dengan pipa yang kusam penuh coretan,
namun tak lagi ku jumpai tetesan-tetsan air bernada rindu seperti dulu. Karena
musim yang tlah berganti, Karena pipanya yang patah berkali-kali dan karena
kata “berhenti” sudah saatnya ia maknai. Lalu ia . . . mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar