Satu . . . dua . . . tiga. Begitulah aku menghitung langkahmu dari balik punggungmu yang kokoh itu. Kita menepis temu, merajut rindu dan merangkai semu. Tak ada yang lebih tabah dari kita yang ikut menyelami takdir sebuah pertemuan. Bagaimanapun juga, mencintai adalah salah satu jalan untuk mengenal tuhan. Bukankah begitu? Sama seperti ketika kita menari di bawah hujan pada bulan Desember waktu itu. Pada langit, kau berucap menantang matahari yang bersembunyi di balik mendung. Kau enyahkan kefanaan waktu untuk menguntai kita yang kau kira bisa abadi. Namun itu bukanlah sebuah masalah untukku, karena pada akhirnya aku memang akan hilang di dalam ketenanganmu : dari detik ke detik. Maka hitunglah : Satu, dua, tiga..
Karena hujan punya cerita. Karena kata-kata ada makna. Maka biarkan kita mengalun bersama ribuan asa dan membentur logika.
Minggu, 12 Oktober 2014
Rabu, 08 Oktober 2014
It has been such along time, since someone gave me butterflies . . .
Diam-diam .
. . aku mengikutimu. Dari kejauhan, kau terlihat seperti mentari yang muncul
menepis mendung. Lalu, kau ciptakan kupu-kupu di hatiku. Ia berterbangan . .
membuat hariku serupa senandung yang berlagu tentang kasih. Langkahmu . .
caramu berjalan . . . makanan kesukaanmu . . . senyummu . . . tawamu saat
bercerita, aku mengingatnya. Tenang saja.
Kepadamu,
ku titipkan sederet rasa yang berbalut kata percaya, ku selipkan harapan di
tiap sisinya. Ketika malam tiba, aku putar kembali kejadian-kejadian kecil yang
kuanggap istimewa. Dan semuanya tentangmu. Darimu, aku belajar bahwa sempurna
itu tidak perlu mewah. Sempurna itu sederhana. Seperti segala hal kecil yang
ada padamu, yang lantas membuatmu sempurna. Kau . . . adalah keajaiban.
Tetaplah seperti itu. Buatlah aku kembali
mencintai dunia ini. Buatlah aku kembali menemukan sayapku yang rebah dan
patah.
Sajak Keran Tua
Tetesan-tetesan
itu berasal dari sebuah keran tua, yang telah lama bertengger di sana. Meskipun
airnya keruh, itu tidak membuatnya berhenti bernafas untuk mengeluarkan sang
sumber kehidupan. Tiap kali debu menerpanya, ia hanya bersiul seolah itu adalah
hal biasa. Dia yakin, bahwa debu dan angin pun tak akan mampu menghentikannya.
Di dalam tetesan air yang jatuh ke tanah, ia berharap keruhnya bisa mengendap
di kedalaman saat air itu kian terkumpul, atau bahkan tumpah ruah ke permukaan
rumput. Meski hatinya ragu pada hal itu, tetap saja tetesan-tetesan kecil
tercipta dari sudut-sudut tubuhnya yang kian berlumut. Di benaknya, ada harapan
untuk berganti tubuh, supaya keran yang tua itu bisa mengeluarkan air lebih
deras. Tapi, itu berarti jiwanya ikut terlepas bebas.
Maka
disanalah dia. Kegelisahan itu menghantuinya di sepanjang lorong-lorong gelap
tempatnya berada. Tubuhnya renta karena waktu, hatinya kebas sebab kenangan
yang berpadu satu. Keran itu masih berada di ujung gang, setelah sekian lama
aku mengembara tanpa arah. Ia tetap tegak dengan pipa yang kusam penuh coretan,
namun tak lagi ku jumpai tetesan-tetsan air bernada rindu seperti dulu. Karena
musim yang tlah berganti, Karena pipanya yang patah berkali-kali dan karena
kata “berhenti” sudah saatnya ia maknai. Lalu ia . . . mati.
Saudade
Padahal, di
setiap kalimat yang ku rangkai, ada titik temu antara partikel waktu kini dan
nanti. Di setiap bagiannya, ku ubah dari rindu menjadi sesuatu yang lebih
sejuk. Seperti harapan yang lama berlalu. Tatkala kau ungkap semua aksaraku,
kau kan mengenal apa yang ada di balik kerasnya batu, panasnya kemarau, desau
angin kala bersalju atau indahnya hujan saat membentur daratan berdebu.
Bait-bait itu, teruntai membentuk sebuah layar dengan tirai keemasan, kenangan
namanya. Suatu saat nanti, kau akan membuka tirai itu. Ketika tlah kau pahami
sajak-sajakku yang dulu pernah membumi, saat kita masih mengarungi lautan waktu
untuk berlabuh menuju dermaga nan sunyi.
Kamis, 18 September 2014
Kau dan Aku
Aku berlayar bersama matahari. Melewati medan yang membekas di setiap
sudut hatiku. Langkah kita berbeda, seperti bianglala dengan banyak gondola :
satu, tapi tidak utuh. Kau terlihat berputar pada fajar yang memberi untaian warna
jingga kemerahan. Padahal, sebenarnya kau telah jauh, bersama Neptunus. Aku
mematung, melukiskan ceritamu di lembaran-lembaran daun yang bernama rindu.
Keabadian memang bukan milikmu, tapi hilangmu telah meninggalkan jejak di
pucuk-pucuk hatiku untuk selamanya. Menunggumu bukanlah pilihan, mencintaimu
bukanlah keputusan. Itu adalah suatu yang bahkan aksara pun tak mampu untuk
menjelaskan. Awalnya aku enggan berhenti pada medan gravitasimu, karena bagiku
duniamu hanyalah serupa bunga teratai di atas lumpur. Namun, matahari yang
membimbingku padamu. Pada realita bahwa ada asa di mata seorang adam. Kau . . .
telah menderahkan gema itu . . .dalam satu purnama. Sudahlah, enyahkan saja
pekat yang membungkus jejakmu dan tunjukkan padaku. Bukan pada rembulan, juga
bukan pada bintang. Tapi padaku, yang telah menjadikanmu sebagai karya surga di
dalam kitab hatiku.
Perempuan Itu
Perempuan itu datang. Lagi. Untuk kesekian kalinya. Ia duduk memandangi rinai gerimis yang jatuh menusuk, menukik dan berhamburan. Oleh angin, ia berlagu. Entah sampai kapan senyap itu membola di kedua matanya. Dia terlepas dari mimpi, menjelang realita. Mengumpulkan residu rindu dan helaan nafas pada sebongkah suara percik gerimis yang tercipta. Pasti inilah surgaku , begitu suaranya pelan membumi. Manakala air itu mencapai telapak tangannya yang menengadah, senyumnya lantas terkembang. Seolah baru saja menangkap partikel keabadian yang terbebas. Pada hujan sore itu, ia –sang perempuan dengan gaun beludru merah tua- menumpahkan sepetik waktu yang terperangkap dalam kerangka imajinasinya. Ia bercerita tentang langit yang kehilangan birunya, tentang awan yang berarak-arak menuju Yaman dan tentang kehidupan ketika ia harus menabuh penat dalam pekat yang melekat hebat. Di atas bumi ini, ada nirwana yang tersimpan. Pada sudut-sudut batu yang berlumut, dan mungkin pada goa-goa tempat berteduh pasukan semut. Ia bercerita, seolah dia adalah seorang penggembala seperti Krisna. Lalu, ia menggoyahkan kedua kakinya menepis hujan, membuat rintik-rintik itu terderah . . . merajam senyumnya yang samar.
Langganan:
Postingan (Atom)