Minggu, 12 Oktober 2014

Satu, Dua, Tiga



Satu . . . dua . . . tiga. Begitulah aku menghitung langkahmu dari balik punggungmu yang kokoh itu. Kita menepis temu, merajut rindu dan merangkai semu. Tak ada yang lebih tabah dari kita yang ikut menyelami takdir sebuah pertemuan. Bagaimanapun juga, mencintai adalah salah satu jalan untuk mengenal tuhan. Bukankah begitu? Sama seperti ketika kita menari di bawah hujan pada bulan Desember waktu itu. Pada langit, kau berucap menantang matahari yang bersembunyi di balik mendung. Kau enyahkan kefanaan waktu untuk menguntai kita yang kau kira bisa abadi. Namun itu bukanlah sebuah masalah untukku, karena pada akhirnya aku memang akan hilang di dalam ketenanganmu : dari detik ke detik. Maka hitunglah : Satu, dua, tiga..

Rabu, 08 Oktober 2014

It has been such along time, since someone gave me butterflies . . .



Diam-diam . . . aku mengikutimu. Dari kejauhan, kau terlihat seperti mentari yang muncul menepis mendung. Lalu, kau ciptakan kupu-kupu di hatiku. Ia berterbangan . . membuat hariku serupa senandung yang berlagu tentang kasih. Langkahmu . . caramu berjalan . . . makanan kesukaanmu . . . senyummu . . . tawamu saat bercerita, aku mengingatnya. Tenang saja.
Kepadamu, ku titipkan sederet rasa yang berbalut kata percaya, ku selipkan harapan di tiap sisinya. Ketika malam tiba, aku putar kembali kejadian-kejadian kecil yang kuanggap istimewa. Dan semuanya tentangmu. Darimu, aku belajar bahwa sempurna itu tidak perlu mewah. Sempurna itu sederhana. Seperti segala hal kecil yang ada padamu, yang lantas membuatmu sempurna. Kau . . . adalah keajaiban.
Tetaplah seperti itu. Buatlah aku kembali mencintai dunia ini. Buatlah aku kembali menemukan sayapku yang rebah dan patah.

Sajak Keran Tua



Tetesan-tetesan itu berasal dari sebuah keran tua, yang telah lama bertengger di sana. Meskipun airnya keruh, itu tidak membuatnya berhenti bernafas untuk mengeluarkan sang sumber kehidupan. Tiap kali debu menerpanya, ia hanya bersiul seolah itu adalah hal biasa. Dia yakin, bahwa debu dan angin pun tak akan mampu menghentikannya. Di dalam tetesan air yang jatuh ke tanah, ia berharap keruhnya bisa mengendap di kedalaman saat air itu kian terkumpul, atau bahkan tumpah ruah ke permukaan rumput. Meski hatinya ragu pada hal itu, tetap saja tetesan-tetesan kecil tercipta dari sudut-sudut tubuhnya yang kian berlumut. Di benaknya, ada harapan untuk berganti tubuh, supaya keran yang tua itu bisa mengeluarkan air lebih deras. Tapi, itu berarti jiwanya ikut terlepas bebas.
Maka disanalah dia. Kegelisahan itu menghantuinya di sepanjang lorong-lorong gelap tempatnya berada. Tubuhnya renta karena waktu, hatinya kebas sebab kenangan yang berpadu satu. Keran itu masih berada di ujung gang, setelah sekian lama aku mengembara tanpa arah. Ia tetap tegak dengan pipa yang kusam penuh coretan, namun tak lagi ku jumpai tetesan-tetsan air bernada rindu seperti dulu. Karena musim yang tlah berganti, Karena pipanya yang patah berkali-kali dan karena kata “berhenti” sudah saatnya ia maknai. Lalu ia . . . mati.

Saudade



Padahal, di setiap kalimat yang ku rangkai, ada titik temu antara partikel waktu kini dan nanti. Di setiap bagiannya, ku ubah dari rindu menjadi sesuatu yang lebih sejuk. Seperti harapan yang lama berlalu. Tatkala kau ungkap semua aksaraku, kau kan mengenal apa yang ada di balik kerasnya batu, panasnya kemarau, desau angin kala bersalju atau indahnya hujan saat membentur daratan berdebu. Bait-bait itu, teruntai membentuk sebuah layar dengan tirai keemasan, kenangan namanya. Suatu saat nanti, kau akan membuka tirai itu. Ketika tlah kau pahami sajak-sajakku yang dulu pernah membumi, saat kita masih mengarungi lautan waktu untuk berlabuh menuju dermaga nan sunyi.

Kamis, 18 September 2014

Kau dan Aku



Aku berlayar bersama matahari. Melewati medan yang membekas di setiap sudut hatiku. Langkah kita berbeda, seperti bianglala dengan banyak gondola : satu, tapi tidak utuh. Kau terlihat berputar pada fajar yang memberi untaian warna jingga kemerahan. Padahal, sebenarnya kau telah jauh, bersama Neptunus. Aku mematung, melukiskan ceritamu di lembaran-lembaran daun yang bernama rindu. Keabadian memang bukan milikmu, tapi hilangmu telah meninggalkan jejak di pucuk-pucuk hatiku untuk selamanya. Menunggumu bukanlah pilihan, mencintaimu bukanlah keputusan. Itu adalah suatu yang bahkan aksara pun tak mampu untuk menjelaskan. Awalnya aku enggan berhenti pada medan gravitasimu, karena bagiku duniamu hanyalah serupa bunga teratai di atas lumpur. Namun, matahari yang membimbingku padamu. Pada realita bahwa ada asa di mata seorang adam. Kau . . . telah menderahkan gema itu . . .dalam satu purnama. Sudahlah, enyahkan saja pekat yang membungkus jejakmu dan tunjukkan padaku. Bukan pada rembulan, juga bukan pada bintang. Tapi padaku, yang telah menjadikanmu sebagai karya surga di dalam kitab hatiku.

Perempuan Itu



Perempuan itu datang. Lagi. Untuk kesekian kalinya. Ia duduk memandangi rinai gerimis yang jatuh menusuk, menukik dan berhamburan. Oleh angin, ia berlagu. Entah sampai kapan senyap itu membola di kedua matanya. Dia terlepas dari mimpi, menjelang realita. Mengumpulkan residu rindu dan helaan nafas pada sebongkah suara percik gerimis yang tercipta. Pasti inilah surgaku , begitu suaranya pelan membumi. Manakala air itu mencapai telapak tangannya yang menengadah, senyumnya lantas terkembang. Seolah baru saja menangkap partikel keabadian yang terbebas. Pada hujan sore itu, ia –sang perempuan dengan gaun beludru merah tua- menumpahkan sepetik waktu yang terperangkap dalam kerangka imajinasinya. Ia bercerita tentang langit yang kehilangan birunya, tentang awan yang berarak-arak menuju Yaman dan tentang kehidupan ketika ia harus menabuh penat dalam pekat yang melekat hebat. Di atas bumi ini, ada nirwana yang tersimpan. Pada sudut-sudut batu yang berlumut, dan mungkin pada goa-goa tempat berteduh pasukan semut.  Ia bercerita, seolah dia adalah seorang penggembala seperti Krisna. Lalu, ia menggoyahkan kedua kakinya menepis hujan, membuat rintik-rintik itu terderah . . . merajam senyumnya yang samar.